41. Mengenai para Brahmin, Kshatrya, Vaishya dan para Sudra, oh
Arjuna, aktivitas-aktivitas mereka ini telah dijelaskan, sesuai dengan
guna-guna yang lahir dan sifat sejati mereka.
Svabhava, atau sifat seseorang, adalah pembawaan karma seseorang atau
sesuatu makhluk dari kehidupan masa lampaunya. Keempat varna (sistim
kasta) manusia pun terpengaruh oleh sifat atau guna-guna ini, dan semua
itu mempengaruhi cara kerja atau sifat perbuatannya. Svabhava dengan
begitu menentukan suatu kewajiban atau perbuatan seseorang berdasarkan
guna-guna yang dominan dalam orang tersebut. Kewajiban setiap varna
dengan kata lain datang dari Prakriti itu sendiri.
Sattva dominan dalam seseorang yang ditakdirkan menjadi Brahmin
sejati, raja dominan dalam seorang Kshatriya, dan kemudian setelah sifat
raja ini menyusul dua sifat, yaitu sattva dan tama dalam Kshatriya.
Dalam Vaishya yang dominan adalah unsur atau sifat raja plus tama, unsur
sattva menyusul kemudian.
Dalam Shudra, unsur yang dominan adalah tama, kemudian menyusul raja dan
terakhir sattva. Tetapi ingat dalam naungan Sang Atman, setiap makhluk
dan manusia adalah sama, yaitu hanya satu unsur, yaitu Sang Atman
Sendiri. Dalam IntiNya yang sejati dan secara spiritual kita semua
adalah berasal dari satu unsur yang tunggal. Satu dalam perjalanan,
tujuan dan takdir kita. Tetapi di dalam olahan sang Prakriti kita
berbeda-beda, dan ingat sistim varna atau kasta adalah produk dari sang
Prakriti ini!
Semua bentuk kasta-kasta ini adalah ibarat alat-alat atau anak-anak
dari Yang Maha Esa. Kepandaian, ilmu pengetahuan, dan kekayaan dunia
lahir dan batin, dibagikan secara sama rata kepada masing-masing kasta
ini sesuai dengan kewajiban-kewajibannya di dunia ini untuk mencapai
Yang Maha Esa kembali. Tetapi tidak ada perlombaan kekuasaan atau
kedudukan atau diskriminasi yang dianjurkan di antara mereka-mereka ini.
Yang ada hanya sifat-sifat dominan pada seseorang, dan sifat-sifat
inilah yang menentukan kewajibannya dan kastanya. Jadi kasta itu
ditentukan oleh jenis sifat, pekerjaan dan perbuatan seseorang
sehari-hari dan bukan karena status kelahiran seseorang. Seseorang dalam
perjalanan hidupnya di dunia ini bisa raja berubah dari seorang yang
lahir secara (atau tidak) Vaishya menjadi seorang brahmana sesuai dengan
panggilan atau ketentuan Ilahi, menurut takdirnya masing-masing, dan
begitupun sebaliknya. Mukti atau pembebasan spiritual terbuka untuk
siapa saja tanpa pandang bulu, yang penting seseorang itu mau bertindak
tanpa pamrih, dan penuh dengan dedikasi yang luhur terhadap Yang Maha
Esa.
Sekali lagi ditegaskan di sini, Svabhava adalah sanskara (penderitaan
duniawi) yang diakibatkan oleh perbuatan dari kelahiran yang silam.
Sesuai dengan sanskara ini, maka dalam hidup ini terciptalah pada
seseorang unsur-unsur sattva, raja dan tama. Dan sesuai atau berdasarkan
guna ini timbullah keempat sistim varna (kasta) atau jenis-jenis
profesi dan perbuatan masing-masing orang, bukan diskriminasi atau
perbedaan kekayaan/kedudukan/status seseorang. Status seseorang, makhluk
dan benda di mata Yang Maha Esa adalah sama saja, yaitu satu: sebagai
alatNya belaka, tidak lebih dan benda tidak kurang. Om Tat Sat.
42. Ketenangan, pengendalian diri, disiplin spiritual, kebersihan
lahir-batin, kesabaran, menjunjung tinggi kebenaran, kebijaksanaan,
pengetahuan dan iman — adalah kewajiban seorang Brahmin, lahir dari
sifatnya yang pribadi.
Keempat sistim varna ini sebenarnya kalau ditinjau dengan kaca-mata yang
benar, maka melambangkan suatu fungsi sehat dari suatu tata-negara
dalam satu negara yang baik dan bijaksana pemerintahannya. Negara yang
sehat dan kuat, aman dan makmur adalah suatu negara di mana kaum
brahmana, kshatriya, vaishya dan sudra bersatu, bergabung, bahu-membahu
bekerja demi kesejahteraan yang lainnya, dan bukan saling mendepak,
menjatuhkan atau merendahkan lainnya.
Tetapi inti dari sistim varna atau kasta ini sebenarnya adalah kaum
Brahmin. Bukan harta-benda atau jumlah tentara yang melimpah-ruah, bukan
perencanaan ekonomi yang fantastis, atau pidato-pidato kosong yang
muluk-muluk para politisi, tetapi kehidupan orang-orang awam yang
berdedikasi, bermoral tinggi dan beragama secara saleh, yang sebenarnya
menjadi dasar atau sendi utama dari varna atau kasta-kasta lainnya. Dan
orang-orang yang sederhana tetapi bermoral tinggi inilah yang sebenarnya
yang disebut brahmin-brahmin dalam arti yang sebenarnya, yang
orientasinya selalu dalam menegakkan dharma dan bhaktinya. tanpa pamrih
demi Yang Maha Esa dan masyarakat banyak. Dan kalau masyarakat banyak
bermoral baik, maka negara itu akan baik, sehat dan kuat. Tetapi
seandainya masyarakat itu sakit, maka negara itupun akan sakit dan
lemah. Semakin banyak yang bersifat brahmin dalam suatu masyarakat atau
negara makin jayalah negara itu, karena akan selalu jauh dari
unsur-unsur yang merugikan. Seorang brahmin sejati adalah seorang guru
bagi sesamanya.
43. Keberanian, semangat, ketegaran, pandai berunding, tidak bersifat
pengecut (tidak lari dari suatu peperangan), bermurah-hati dan berwibawa
sebagai pemimpin (sifat asli seorang pemimpin) – semua ini adalah
kewajiban seorang kshatriya yang lahir dari sifat-sifat pembawaannya.
Brahmin yang sejati adalah guru, dan kshatriya yang sejati adalah
pengayom masyarakat yang bersedia mati setiap saat ia dibutuhkan demi
tegaknya kebenaran, kedamaian dan kemajuan atau kemakmuran suatu negara
dan masyarakat. Orang-orang yang berjiwa kshatriya tidak mengenal takut,
selalu bersemangat baja, dan tak mudah dipengaruhi oleh uang dan
harta-benda. Harapan bangsa terletak di pundak mereka, dan itulah
dharma-bhakti mereka pada Yang Maha Esa dan masyarakat. Salah satu
contoh adalah Sang Bhishma, suatu waktu Yudhishthira pernah memohon
kepada Sang Kreshna agar ia dijadikan muridnya. Oleh Sang Kreshna ia
diminta berguru ke Bhisma, dan salah satu ajaran Sang Bhishma pada
Yudhishthira adalah, “Di mana Sang Kreshna bekerja, di situ terdapat
dharma (kebenaran), di mana dharma berfungsi, di situ terdapat
kemenangan.” Seorang kshatriya sejati adalah yang bekerja berdasarkan
dharma, dan tak merasa takut akan apapun juga selain Yang Maha Esa.
Biasanya seorang pemimpin semacam itu sudah lahir dengan wibawa dan
kharisma semacam itu. Maka dikatakan, seorang kshatriya adalah seorang
pemimpin bangsa, sedangkan seorang brahmin adalah guru dari masyarakat
(semuanya).
44. Berladang, menjaga ternak dan berdagang adalah kewajiban seorang
vaishya, lahir dari sifat pribadinya. Tindakan atau perbuatan yang
bersifat jasa atau pelayanan (masyarakat) adalah kewajiban seorang
shudra, yang lahir dari sifat pribadinya.
Seorang yang berkarakter atau hidup sebagai seorang vaishya berciri
khas seperti (1) petani dan yang berhubungan dengan pertanian, (2)
beternak dan menjaga agar ternak-ternak dipelihara dengan baik karena
sapi, kerbau dan sejenisnya dianggap suci dan amat bermanfaat dalam
agama Hindu, (3) berdagang atau berwira swasta dalam berbagai bidang
ekonomi adalah sifat-sifat dominan seorang vaishya. Sedangkan yang
digolongkan sebagai shudra adalah orang-orang yang berkerja di bidang
jasa atau pelayanan secara umum, juga sebagai buruh, karyawan, dan
petugas dalam segala bidang pekerjaan milik pemerintah maupun
non-pemerintah.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa sistim varna atau kasta ini
sebenarnya adalah pembagian golongan kerja, dan bukan pembagian hak
hidup seseorang yang dapat diatur semena-mena. Tidak boleh ada orang
yang merasa dilahirkan dalam kasta ini atau kasta itu. Yang benar adalah
sewaktu seseorang tersebut dewasa dan ingin menentukan pekerjaan dan
jalan-hidupnya sendiri maka terserah olehnya pekerjaan apa yang akan
dipilihnya. Jadi sistim kasta yang berlaku sekarang ini yang
membeda-bedakan, hak, status, nama dan sebutan, dan pekerjaan adalah
salah besar. Yang benar itu, kasta ini hanyalah sekedar pembagian
golongan, yang dalam abad modern ini bisa disebut sebagai berikut: para
rohaniwan untuk sebutan modem para brahmana (tercakup di dalamnya para
guru dan ilmuwan dan lain sebagainya yang berhubungan), kemudian para
ekonom adalah sebutan modern atau masa kini untuk para pedagang, bankir
dan lain sebagainya yang berhubungan dengan bidang ekonomi, para petani
dan nelayan termasuk juga dalam golongan ini. Para politisi, pejabat
negara, tentara dan pamong-praja dan lain sebagainya adalah istilah
modern para kshatriya; dan para buruh, pekerja, petugas dan lain
sebagainya yang berstatus bekerja pada seseorang, negara, dan lainnya
disebut shudra. Keempat golongan ini menjadi tiang-tiang utama dari
sebuah negara, dan saling menunjang karena setiap tiang ini sama
kekuatan dan kedudukannya. Satu tiang patah maka patahlah juga
tiang-tiang lainnya, karena tidak akan mampu menyanggah negara yang
ibarat sebuah gedung besar bertiang empat.
Seandainya sesuatu bangsa dan negara tidak melakukan suatu
diskriminasi dengan, golongan-golongan yang ada di dalamnya, dan
menghargai setiap golongan ini, maka aman-sejahtera dan sentosalah
negara ini. Berbeda-beda tetapi eka, berbagai aspirasi tetapi satu
tujuan, yaitu kesejahteraan bagi sesama dan semuanya adalah misi yang
dikandung di sloka-sloka di atas ini, dan ingat bukan perbedaan kasta
yang diskriminatif. Sebuah bangsa dan negara yang besar, maju dan
sejahtera adalah yang masyarakatnya harmonis, dan duduk sama penting di
antara sesamanya.
45. Seseorang mencapai kesempurnaan apabila ia berdedikasi kepada
kewajibanya sendiri. Dengarkanlah olehmu bagaimana kesempurnaan ini
didapatkan oleh seseorang yang setia kepada kewajibannya sendiri.
Yang dimaksudkan dengan kesempurnaan ini adalah penyadaran akan Ilahi.
Seseorang dapat mencapainya dengan bekerja secara setia dan penuh
dedikasi kepada kewajibannya sendiri, yaitu bekerja sesuai dengan sifat
sejati yang dimilikinya. Sewaktu seseorang menyerahkan semua pekerjaan
dan perbuatannya kepada Yang Maha Esa tanpa pamrih sedikitpun, maka
secara bertahap ia akan mencapai kesempurnaan ini atas karuniaNya. Tidak
menjadi masalah kalau pekerjaan itu secara duniawi sifatnya amat
sederhana atau kecil. Sekali perbuatan atau pekerjaan ini diserahkan
secara total kepadaNya maka terbukalah jalan ke arah Yang Maha Esa.
Bekerjalah demi Yang Maha Esa sesuai dengan sifat-sifat kita yang
sejati, janganlah iri atau berganti-ganti profesi karena harta duniawi,
padahal belum tentu kita menghayati pekerjaan baru kita karena tidak
berbakat ke arah itu. Pekerjaan, profesi atau perbuatan seharusnya
dilakukan karena dedikasi kita kepada Yang Maha Esa, bukan karena nafsu
atau keinginan duniawi. Maka sebaiknya setiap orang mengerjakan
pekerjaan yang disenanginya, dihayatinya dan sesuai kodratnya, walaupun
profesi tersebut tidak menghasilkan sesuatu harta duniawi. Harta
sesungguhnya di dunia ini adalah Yang Maha Esa sendiri dengan segala
karunia-karuniaNya, jadi seyogyanyalah kita selalu bekerja demi Yang
Maha Esa semata, tanpa pamrih dan tulus jiwa-raga. Om Tat Sat.
46. la dari siapa semua makhluk dan benda ini datang dan oleh siapa
seluruh ciptaan ini dijaga – dengan memujaNya melalui kewajibannya
masing-masing, maka seseorang akan mencapai kesempurnaan.
Suatu pekerjaan yang menjadi kewajiban seseorang dapat menjadi
pemujaan kepada Yang Maha Esa seandainya semua itu dipersembahkannya
kepada Yang Maha Esa secara mental dan ragawi, untukNya, demi Ia semata
tanpa pamrih. Tetapi pekerjaan ini harus selaras dengan kewajiban orang
tersebut, yang juga senada dengan kewajibannya terhadap sesamanya secara
tulus, bukan pekerjaan atau perbuatan orang lain yang ditiru atau
dipaksakan olehnya.
Yang Maha Esa adalah sumber segala ciptaanNya di alam semesta, dan Ia
juga yang menjaga semua itu, maka dengan bekerja demi Yang Maha Esa
sesuai kewajiban kita masing-masing sebenarnya seseorang ikut
melestarikan dan menjaga alam semesta ini. Dan Yang Maha Esa pun lalu
tentu dengan senang hati akan membuka jalan ke arah kesempurnaan bagi
sang pemuja yang penuh dengan bakti yang tulus ini.
47. Lebih utama dharma seseorang itu sendiri, walaupun ada
kekurangan-kekurangannya, daripada melakukan dharma orang lain walaupun
dikerjakan dengan baik. Seseorang yang melakukan dharmanya sendiri, yang
didasarkan pada sifatnya pribadi (svabhava), tidaklah berdosa.
Jangan sekali-kali mengabaikan kewajiban anda, untuk sesuatu perbuatan
atau pekerjaan orang lain, walaupun perbuatan atau pekerjaan tersebut
nampak dan terasa lebih baik dan menghasilkan laba yang lebih besar,
atau nampaknya lebih bermanfaat daripada pekerjaan seseorang itu
sendiri. Contoh: seorang yang bersifat dan berpembawaan sejati sebagai
brahmana janganlah melakukan pekerjaan seorang politisi, akibatnya bisa
kacau nanti semua hasil akibatnya lahir dan batin. Pekerjaan atau
kewajiban kita yang asli adalah di mana svabhava (sifat pembawaan) kita
menemukan ekspresi keluarnya yang sejati tanpa berdasarkan suatu rasa
iri-hati, dengki dan cemburu. Biarkanlah alam bekerja melalui diri kita
masing-masing secara alami, dan itu akan lebih utama bagi kita, daripada
menentang kodrat dan kemauan alam yang ada dan hadir setiap saat dalam
diri kita.
Seorang tukang pembuat sepatu sebaiknya bekerja sebagai tukang
sepatu, ia boleh bercita-cita setinggi langit, itu haknya, tetapi ia
lebih baik mengembangkan usaha yang dihayatinya daripada ia merasa
iri-hati terhadap salah satu saudaranya yang diangkat menjadi kepala
desa oleh masyarakat setempat. Begitu iri-hatinya sang tukang sepatu
sehingga ia mengorbankan segala-galanya untuk mendapatkan posisi
tersebut, padahal ia sama sekali tidak menghayati peranan seorang kepala
desa yang harus bekerja untuk seluruh masyarakat di sekitarnya tanpa
pamrih. Hal semacam ini tidak akan diterima oleh Yang Maha Esa, dan
semua usahanya sia-sia saja secara spiritual. Ia, Yang Maha Esa, lebih
mengutamakan kewajiban seorang yang sejati walaupun sifat pekerjaan itu
sederhana saja, karena pekerjaan yang sederhana ini kalau dikerjakan
penuh dengan dedikasi kepadaNya semata akan mengantar orang ini ke
moksha. Seorang penjaga toko atau seorang kusir kereta yang sederhana
mungkin lebih dekat dengan kehidupan yang benar dan sejati dibandingkan
seorang raja atau presiden yang hidupnya bergelimang kemewahan tetapi
lupa akan kewajibannya yang sejati akan rakyat yang menjadi tujuannya
mengabdi.
48. Yang sudah menjadi kewajiban seseorang walaupun cacat, tidak
boleh dilepaskan. Karena semua perbuatan itu terselubung oleh kecacatan
ibarat api yang terselubung oleh asap.
Jangan sekali-kali melepaskan kewajiban yang sudah menjadi panggilan
nurani kita yang tulus dan sebenarnya. Walaupun kewajiban tersebut
terasa kurang sempurna dalam pelaksanaannya. Karena sebenarnya tidak ada
sesuatu pekerjaan pun, atau aksi dan perbuatan yang sempurna. Semuanya
selalu ada saja cacat atau kurungnya, yang sempurna adalah Yang Maha Esa
dan segala kehendak-kehendakNya, yang scring sekali tidak dapat
dimengerti oleh manusia. Secacat-cacatnya suatu pekerjaan pada mulanya,
pasti akan lebih sempurna pada tahap-tahap selanjutnya. Bekerjalah
sesuai dengan kewajiban kita semata, dengan segala ketulusan dan
kesucian hati kita, dan secara bertahap akan makin dekatlah kita
kepadaNya.
49. Seseorang yang buddhinya (pengertian) tidak terikat di mana pun
juga, yang telah mengendalikan dirinya, yang keinginannya telah lari
jauh – dengan pemasrahan segala hasil pekerjaannya secara total, orang
ini menuju ke Kesempurnaan Yang Agung yang disebut naishkarmya
(kebebasan dari perbuatan atau tindakan).
Inilah salah satu petunjuk penting dalam Bhagavat Gita, yaitu melalui
suatu perbuatan atau tindakan, seseorang dapat mencapai suatu bentuk
kesempurnaan dalam non-tindakan atau non-aksi (perbuatan). Kesempurnaan
ini adalah suatu kebebasan dari karma, kesempurnaan ini adalah suatu
penyadaran akan Yang Maha Esa secara sejati. Ada tiga tahap dalam jalan
ke arah kesempurnaan ini: a. Pada tahap pertama seseorang melepaskan
rasa ego, rasa “ke-aku’an” nya, rasa memiliki, rasa superior atas
dirinya sendiri, atas setiap tindakan dan perbuatannya. b. Pada tahap
kedua ia melepaskan semua hasil atau buah dari perbuatan, aksi dan
tindakannya, termasuk hasil dari semua pekerjaannya. c. Pada tahap
ketiga ia melepaskan semua pemikiran atau ide-ide mengenai kewajibannya,
ia melepaskan semua karma-karmanya. la menjadi tuan atau majikan bagi
dirinya sendiri, yaitu yang dalam agama Hindu disebut mencapai suatu
kekuatan dari non-perbuatan (non-aksi yang sempurna). Ia dengan kata
lain mencapai penyatuan dengan Sang Brahman, Yang Maha Agung, yang jauh
dari semua tindakan-tindakan di dunia ini. la sadar sesungguh-sungguhnya
bahwa bukan ia yang bekerja, tetapi Ia yang bekerja dan berbuat,
sesuatu non-aksi dalam setiap aksi.
Dalam sloka di atas, sanyasa yang berarti penyerahan total dari
setiap hasil perbuatan disamakan dengan tyaga yang berarti penyerahan
atau pelepasan nafsu dan keinginan. Naishkarmya di sloka di atas bukan
berarti akarma, melainkan berarti tidak berbuat aksi atau tindakan yang
dapat menimbulkan keterikatan duniawi.
50. Pelajarilah dariKu secara singkat, oh Arjuna, bagaimana sesudah
mencapai kesempurnaan, orang itu mencapai Sang Brahman — Yang Maha
Memiliki Kebijaksanaan.
Pada sloka-sloka berikutnya, Sang Kreshna mulai mengajarkan kepada
Arjuna bagaimana seseorang yang telah berhasil melakukan usaha-usaha
non-tindakan, non-aksi dan non-perbuatan ini dapat mencapai Sang
Brahman, yang menjadi tujuan kesadaran dari Sang Atman dalam diri kita.
Berbagai tahap-tahap dalam pencapaian kesadaran diri ini diterangkan di
sloka-sloka berikut ini.
No comments:
Post a Comment