For Your Information

Monday, October 1, 2012

Bhagawad Gita (XVIII) Kata Terakhir[2]

11. Sebenarnya, tidak mungkin bagi seseorang makhluk yang memiliki raga untuk tidak bekerja secara total. Sebenarnya, seseorang yang memasrahkan hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatannya — disebut sebagai seorang tyagi.
12. Tidak nikmat, nikmat dan perpaduan keduanya – ketiga sifat ini adalah hasil dari setiap perbuatan yang akan didapati setelah meninggalkan dunia ini, bagi mereka-mereka yang tidak menyerahkan perbuatannya. Tetapi bagi mereka-mereka yang telah menyerahkan hasil perbuatannya, tak ada semua itu.
Seorang tyagi yang sejati adalah seseorang yang tidak mengabaikan pekerjaannnya, tetapi hasil atau buah dari pekerjaannya. Dan di sloka di atas ini Sang Kreshna menyinggung soal hasil atau buah perbuatan seorang sanyasin, yaitu sesorang yang telah memasrahkan secara total dan tanpa pamrih seluruh efek dari perbuatan-perbuatan dan kewajibannya. Bagi orang semacam ini, menurut Sang Kreshna tak akan menghasilkan suatu efek atau buah (karma), karena perbuatan-perbuatannya telah menyatu dengan kehendakNya. Di Bhagavat Gita sering kita jumpai istilah-istilah seperti tyaga dan sanyasa, tyagi dan sanyasin, yang kesemuanya ini sebenarnya adalah istilah-istilah alternatif yang dipergunakan oleh Sang Kreshna dalam mengajar Bhagavat Gita. Sang Kreshna pada prinsipnya tidak menganjurkan seseorang agar melepaskan atau mengabaikan pekerjaannya. la hanya menganjurkan agar terjadi peralihan dari semua kamya-karma (pekerjaan yang bermotivasi sesuatu) ke nishkama (yaitu pekerjaan tanpa pamrih).
Seseorang yang tidak mempunyai motif-motif duniawi untuk setiap pekerjaannya adalah ibarat sebuah pohon yang lebat di tepi sebuah sungai (tempat yang subur). Buah pohon ini pergi ke orang-orang yang membutuhkannya. Sedangkan orang ini sendiri tidak perlu ke mana-mana lagi, karena ia sudah tegar dalam kewajibannya dan telah menyatu dengan Yang Maha Esa.
13. Pelajarilah dariKu, oh Arjuna, lima unsur penyebab, penyelesaian semua tindakan, seperti yang telah disabdakan dalam doktrin Sankhya.
14. Tempat bersemayam semua tindakan (raga ini), Sang Jiwa (Karta) berbagai organ tubuh (karanam), berbagai ragam usaha (cheshta) dan yang kelima, yaitu takdir (daivam).
Di sloka ini Sang Kreshna mulai menerangkan tentang lima penyebab atau unsur atau kondisi dari setiap tindakan sampai selesai atau (akhir dari tindakan/perbuatan tersebut). Yang pertama adalah adhishthanam, yaitu raga atau badan kita yang merupakan tempat bersemayam (rumah-tinggal) Sang Jiwa dan berbagai keinginan kita. Yang pertama ini adalah raga duniawi atau jasad kasar kita. Yang kedua disebut karta atau sang agen. Siapakah Sang Agen? Tidak lain dan tidak bukan adalah sang jiwa kita, personalitas dalam raga ini, sang raja ego. Bergabung dengan Sang Prakriti, Sang Jiwa ini pun lupa pada bentuknya yang Asal dan Asli, yaitu Atma-Svanipa, dan dalam keangkuhan rasa egoisme ia pun lain berkata “aku,” “akulah yang memiliki ini dan itu,” “akulah yang berbuat,” dan lain sebagainya. Dalam mencapai kebebasan jiwa kita, maka rasa ego ini harus dilepaskan agar tersingkaplah yang asli ini.
Yang ketiga disebut karanam atau instrumen/alat. Alat-alat ini adalah kesepuluh indra-indra, pikiran, rasa intelek, dan ahankara kita. Yang keempat adalah cheshta, yaitu usaha, fungsi prana atau energi-vital atau nafas dalam raga kita. Yang kelima disebut daivam, takdir, sesuatu yang tak terjangkau oleh manusia itu sendiri, pada hal ini yang menentukan dan menjadi jalan hidup kita sebenarnya; yang menghasilkan setiap usaha dan efeknya yang berhubungan dengan usaha atau perbuatan tersebut masing-masing. Daivam atau takdir ini adalah yang mengatur semua tindak-tanduk kita.
Kelima unsur penting ini adalah kelima instrumen yang menjadi penyebab dari semua tindakan kita baik yang positif maupun yang negatif, baik atau buruk, dalam perjalanan hidup kita.
15. Apapun tindakan yang diambil seseorang melalui raganya, kata-kata dan pikirannya, baik yang benar maupun yang salah – kelima unsur inilah penyebabnya.
16. Dengan begitu, seseorang yang salah pengertiannya, yang karena tidak terlatih kesadarannya, memandang dirinya sebagai satu-satunya pelaku (setiap perbuatannya) — sebenarnya orang-orang ini tidak melihat!
Seseorang yang berpikir sebagai pelaku tunggal dari setiap tindakannya adalah seorang yang egois, yang pandir dan terlalu buta untuk menyadari atau melihat suatu kenyataan Ilahi. Orang semacam ini disebut sebagai seorang yang gagal melihat hal yang sebenarnya.
17. Seseorang yang bebas dari itikad, egoisme, yang pengertian (intelektualnya) tidak tertutup, walaupun ia membunuh orang-orang ini, ia tidak membunuh, atau terikat (oleh perbuatan-perbuatannya).
Arjuna boleh saja membantai para Kaurawa (Kurawa = bahasa Jawa), dan selama ia berbuat itu bukan karena ego pribadinya, tetapi melainkan karena kewajibannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, maka selama itu juga segala perbuatannya tidak akan mengikat dia dan di mata Sang Kreshna (Yang Maha Esa), ia bukan seorang pembunuh tetapi hanya sebuah alat dariNya belaka, tidak lebih dan tidak kurang.
Seseorang yang telah berada di atas kesadaran bahwa “akulah yang sebenarnya berbuat,” dan telah sadar akan Sang Atman, Sang Jati Diri, dan yang telah dapat mengatasi pikiran-pikiran perbuatannya, maka orang ini tidak dapat dipuji atau dihukum untuk setiap perbuatan-perbuatannya. Tetapi jangan sekali-kali menyalah gunakan sloka ini, karena bagi yang rasa ego, atau fanatismenya (fanatisme juga adalah suatu bentuk ego yang ekstrim!) masih tinggi, atau yang masih kurang kesadarannya, maka penghayatan yang salah akan berakibat amat fatal bagi sesamanya.
Lalu bagaimanakah cara yang terbaik untuk memahami sloka ini? Bhagavat Gita menekankan bahwa ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam bertindak atau berbuat sesuatu, yaitu kebebasan dari rasa egoisme dan kesadaran yang tidak ternoda! Camkanlah hal ini secara sejati dan dengan hati-nurani yang bersih dan murni berdasarkan ratio atau intelektual anda sebelum bertindak sesuatu seperti yang dianjurkan di sloka ini. Mereka yang telah secara total berlindung di dalam Yang Maha Esa dan pasrah dengan segala kehendakNya, yang telah melewati rasa dualisme yang bertentangan, akan tahu secara sadar (sejati) akan makna dan perbuatan yang tertulis di sloka ini!
18. Pengetahuan, obyek pengetahuan (hal-hal yang diketahui), subyek yang mengetahui (yang mengetahui), adalah tiga unsur stimulus ke arah setiap tindakan. Sang alat, tindakan, dan sang jiwa adalah tiga unsur gabungan dari setiap tindakan.
Setiap tindakan ada dua penyebabnya: subyektif dan obyektif. Yang subyektif ini dimaksudkan dengan rangsangan-rangsangan awal dari setiap tindakan, yaitu suatu kondisi sebelum suatu tindakan diambil, yaitu konsep yang tergambar dahulu dalam benak pikiran, yang lalu ditransformasikan dalam bentuk tindakan ragawi. Keadaan ini disebut karmachodana, dan hal ini terdiri dari tiga unsur, yaitu pengetahuan, yang diketahui dan yang mengetahui.
Sedangkan yang obyektif disebut karmasangraha. Sewaktu sesuatu tindakan dilakukan, maka ada tiga faktor yang menyertainya: karana, yaitu alat, instrumen atau indra-indra kita; kemudian subyek tindakan/aksi, yaitu karta, Sang Jiwa; dan akhirnya, obyek tindakan/aksi, yaitu karma itu sendiri, yaitu akhir atau tujuan yang ingin dicapai oleh tindakan yang dimaksud. Dengan kata lain, karmachodana ini adalah perencanaan secara mental dan karmasangraha adalah perbuatan atau tindakan hasil dari perencanaan secara aktual.
19. Pengetahuan, aksi (tindakan) dan sang pemeran dikatakan dalam pengetahuan tentang sifat-sifat (guna-guna dalam filosofi Sankhya), ada tiga jenis saja, sesuai dengan perbedaan sifat-sifat (guna-guna) ini. Dengarkanlah juga dengan seksama mengenai hal ini.
20. Sesuatu pengetahuan dengan mana seseorang melihat Yang Maha Esa dan Tak Terbinasakan di dalam semua makhluk – tak terpisah-pisah di dalam keterpisah-pisahan – ketahuilah pengetahuan tersebut bersifat sattvik (bersih).
Dalam sesuatu kepercayaan yang bersifat sattvik, maka Yang Maha Esa dianggap Satu-Satu-Nya Inti Kehidupan yang hadir dalam setiap makhluk dan benda di alam semesta ini. Yang Maha Esa ini juga disebut sebagai Avyayam, yaitu Tak Terbinasakan, juga disebut sebagai Avibhaktam, yaitu Keseluruhan Yang Tak Terpisahkan.
Yang Maha Esa itu hadir secara sama rata dalam setiap makhluk, benda dan manusia. Baik dalam seorang kaya atau miskin, dalam seorang kriminal maupun dalam seorang pendeta, hadirlah Yang Maha Esa secara sama dalam setiap jiwa ini, tanpa diskriminasi atau perbedaan sedikitpun. Walau di alam semesta ini terdapat jumlah jiwa-jiwa yang tak terbatas dan terhitung jumlahnya, pada hakekatnya semua jiwa-jiwa ini ber Intisari atau berasal dari Satu, yaitu Yang Maha Esa. Jadi dengan kata lain, semua jiwa ini sifatnya Eka atau Satu dan identik dengan Yang Maha Esa. Pengetahuan atau kesadaran semacam ini disebut bersifat sattvik.

No comments:

Post a Comment