11. Sebenarnya, tidak mungkin bagi seseorang makhluk yang memiliki
raga untuk tidak bekerja secara total. Sebenarnya, seseorang yang
memasrahkan hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatannya — disebut
sebagai seorang tyagi.
12. Tidak nikmat, nikmat dan perpaduan keduanya – ketiga sifat ini
adalah hasil dari setiap perbuatan yang akan didapati setelah
meninggalkan dunia ini, bagi mereka-mereka yang tidak menyerahkan
perbuatannya. Tetapi bagi mereka-mereka yang telah menyerahkan hasil
perbuatannya, tak ada semua itu.
Seorang tyagi yang sejati adalah seseorang yang tidak mengabaikan
pekerjaannnya, tetapi hasil atau buah dari pekerjaannya. Dan di sloka di
atas ini Sang Kreshna menyinggung soal hasil atau buah perbuatan
seorang sanyasin, yaitu sesorang yang telah memasrahkan secara total dan
tanpa pamrih seluruh efek dari perbuatan-perbuatan dan kewajibannya.
Bagi orang semacam ini, menurut Sang Kreshna tak akan menghasilkan suatu
efek atau buah (karma), karena perbuatan-perbuatannya telah menyatu
dengan kehendakNya. Di Bhagavat Gita sering kita jumpai istilah-istilah
seperti tyaga dan sanyasa, tyagi dan sanyasin, yang kesemuanya ini
sebenarnya adalah istilah-istilah alternatif yang dipergunakan oleh Sang
Kreshna dalam mengajar Bhagavat Gita. Sang Kreshna pada prinsipnya
tidak menganjurkan seseorang agar melepaskan atau mengabaikan
pekerjaannya. la hanya menganjurkan agar terjadi peralihan dari semua
kamya-karma (pekerjaan yang bermotivasi sesuatu) ke nishkama (yaitu
pekerjaan tanpa pamrih).
Seseorang yang tidak mempunyai motif-motif duniawi untuk setiap
pekerjaannya adalah ibarat sebuah pohon yang lebat di tepi sebuah sungai
(tempat yang subur). Buah pohon ini pergi ke orang-orang yang
membutuhkannya. Sedangkan orang ini sendiri tidak perlu ke mana-mana
lagi, karena ia sudah tegar dalam kewajibannya dan telah menyatu dengan
Yang Maha Esa.
13. Pelajarilah dariKu, oh Arjuna, lima unsur penyebab, penyelesaian
semua tindakan, seperti yang telah disabdakan dalam doktrin Sankhya.
14. Tempat bersemayam semua tindakan (raga ini), Sang Jiwa (Karta)
berbagai organ tubuh (karanam), berbagai ragam usaha (cheshta) dan yang
kelima, yaitu takdir (daivam).
Di sloka ini Sang Kreshna mulai menerangkan tentang lima penyebab
atau unsur atau kondisi dari setiap tindakan sampai selesai atau (akhir
dari tindakan/perbuatan tersebut). Yang pertama adalah adhishthanam,
yaitu raga atau badan kita yang merupakan tempat bersemayam
(rumah-tinggal) Sang Jiwa dan berbagai keinginan kita. Yang pertama ini
adalah raga duniawi atau jasad kasar kita. Yang kedua disebut karta atau
sang agen. Siapakah Sang Agen? Tidak lain dan tidak bukan adalah sang
jiwa kita, personalitas dalam raga ini, sang raja ego. Bergabung dengan
Sang Prakriti, Sang Jiwa ini pun lupa pada bentuknya yang Asal dan Asli,
yaitu Atma-Svanipa, dan dalam keangkuhan rasa egoisme ia pun lain
berkata “aku,” “akulah yang memiliki ini dan itu,” “akulah yang
berbuat,” dan lain sebagainya. Dalam mencapai kebebasan jiwa kita, maka
rasa ego ini harus dilepaskan agar tersingkaplah yang asli ini.
Yang ketiga disebut karanam atau instrumen/alat. Alat-alat ini adalah
kesepuluh indra-indra, pikiran, rasa intelek, dan ahankara kita. Yang
keempat adalah cheshta, yaitu usaha, fungsi prana atau energi-vital atau
nafas dalam raga kita. Yang kelima disebut daivam, takdir, sesuatu yang
tak terjangkau oleh manusia itu sendiri, pada hal ini yang menentukan
dan menjadi jalan hidup kita sebenarnya; yang menghasilkan setiap usaha
dan efeknya yang berhubungan dengan usaha atau perbuatan tersebut
masing-masing. Daivam atau takdir ini adalah yang mengatur semua
tindak-tanduk kita.
Kelima unsur penting ini adalah kelima instrumen yang menjadi
penyebab dari semua tindakan kita baik yang positif maupun yang negatif,
baik atau buruk, dalam perjalanan hidup kita.
15. Apapun tindakan yang diambil seseorang melalui raganya, kata-kata
dan pikirannya, baik yang benar maupun yang salah – kelima unsur inilah
penyebabnya.
16. Dengan begitu, seseorang yang salah pengertiannya, yang karena
tidak terlatih kesadarannya, memandang dirinya sebagai satu-satunya
pelaku (setiap perbuatannya) — sebenarnya orang-orang ini tidak melihat!
Seseorang yang berpikir sebagai pelaku tunggal dari setiap
tindakannya adalah seorang yang egois, yang pandir dan terlalu buta
untuk menyadari atau melihat suatu kenyataan Ilahi. Orang semacam ini
disebut sebagai seorang yang gagal melihat hal yang sebenarnya.
17. Seseorang yang bebas dari itikad, egoisme, yang pengertian
(intelektualnya) tidak tertutup, walaupun ia membunuh orang-orang ini,
ia tidak membunuh, atau terikat (oleh perbuatan-perbuatannya).
Arjuna boleh saja membantai para Kaurawa (Kurawa = bahasa Jawa), dan
selama ia berbuat itu bukan karena ego pribadinya, tetapi melainkan
karena kewajibannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, maka selama
itu juga segala perbuatannya tidak akan mengikat dia dan di mata Sang
Kreshna (Yang Maha Esa), ia bukan seorang pembunuh tetapi hanya sebuah
alat dariNya belaka, tidak lebih dan tidak kurang.
Seseorang yang telah berada di atas kesadaran bahwa “akulah yang
sebenarnya berbuat,” dan telah sadar akan Sang Atman, Sang Jati Diri,
dan yang telah dapat mengatasi pikiran-pikiran perbuatannya, maka orang
ini tidak dapat dipuji atau dihukum untuk setiap perbuatan-perbuatannya.
Tetapi jangan sekali-kali menyalah gunakan sloka ini, karena bagi yang
rasa ego, atau fanatismenya (fanatisme juga adalah suatu bentuk ego yang
ekstrim!) masih tinggi, atau yang masih kurang kesadarannya, maka
penghayatan yang salah akan berakibat amat fatal bagi sesamanya.
Lalu bagaimanakah cara yang terbaik untuk memahami sloka ini?
Bhagavat Gita menekankan bahwa ada dua faktor penting yang harus
diperhatikan dalam bertindak atau berbuat sesuatu, yaitu kebebasan dari
rasa egoisme dan kesadaran yang tidak ternoda! Camkanlah hal ini secara
sejati dan dengan hati-nurani yang bersih dan murni berdasarkan ratio
atau intelektual anda sebelum bertindak sesuatu seperti yang dianjurkan
di sloka ini. Mereka yang telah secara total berlindung di dalam Yang
Maha Esa dan pasrah dengan segala kehendakNya, yang telah melewati rasa
dualisme yang bertentangan, akan tahu secara sadar (sejati) akan makna
dan perbuatan yang tertulis di sloka ini!
18. Pengetahuan, obyek pengetahuan (hal-hal yang diketahui), subyek yang
mengetahui (yang mengetahui), adalah tiga unsur stimulus ke arah setiap
tindakan. Sang alat, tindakan, dan sang jiwa adalah tiga unsur gabungan
dari setiap tindakan.
Setiap tindakan ada dua penyebabnya: subyektif dan obyektif. Yang
subyektif ini dimaksudkan dengan rangsangan-rangsangan awal dari setiap
tindakan, yaitu suatu kondisi sebelum suatu tindakan diambil, yaitu
konsep yang tergambar dahulu dalam benak pikiran, yang lalu
ditransformasikan dalam bentuk tindakan ragawi. Keadaan ini disebut
karmachodana, dan hal ini terdiri dari tiga unsur, yaitu pengetahuan,
yang diketahui dan yang mengetahui.
Sedangkan yang obyektif disebut karmasangraha. Sewaktu sesuatu
tindakan dilakukan, maka ada tiga faktor yang menyertainya: karana,
yaitu alat, instrumen atau indra-indra kita; kemudian subyek
tindakan/aksi, yaitu karta, Sang Jiwa; dan akhirnya, obyek
tindakan/aksi, yaitu karma itu sendiri, yaitu akhir atau tujuan yang
ingin dicapai oleh tindakan yang dimaksud. Dengan kata lain,
karmachodana ini adalah perencanaan secara mental dan karmasangraha
adalah perbuatan atau tindakan hasil dari perencanaan secara aktual.
19. Pengetahuan, aksi (tindakan) dan sang pemeran dikatakan dalam
pengetahuan tentang sifat-sifat (guna-guna dalam filosofi Sankhya), ada
tiga jenis saja, sesuai dengan perbedaan sifat-sifat (guna-guna) ini.
Dengarkanlah juga dengan seksama mengenai hal ini.
20. Sesuatu pengetahuan dengan mana seseorang melihat Yang Maha Esa
dan Tak Terbinasakan di dalam semua makhluk – tak terpisah-pisah di
dalam keterpisah-pisahan – ketahuilah pengetahuan tersebut bersifat
sattvik (bersih).
Dalam sesuatu kepercayaan yang bersifat sattvik, maka Yang Maha Esa
dianggap Satu-Satu-Nya Inti Kehidupan yang hadir dalam setiap makhluk
dan benda di alam semesta ini. Yang Maha Esa ini juga disebut sebagai
Avyayam, yaitu Tak Terbinasakan, juga disebut sebagai Avibhaktam, yaitu
Keseluruhan Yang Tak Terpisahkan.
Yang Maha Esa itu hadir secara sama rata dalam setiap makhluk, benda
dan manusia. Baik dalam seorang kaya atau miskin, dalam seorang kriminal
maupun dalam seorang pendeta, hadirlah Yang Maha Esa secara sama dalam
setiap jiwa ini, tanpa diskriminasi atau perbedaan sedikitpun. Walau di
alam semesta ini terdapat jumlah jiwa-jiwa yang tak terbatas dan
terhitung jumlahnya, pada hakekatnya semua jiwa-jiwa ini ber Intisari
atau berasal dari Satu, yaitu Yang Maha Esa. Jadi dengan kata lain,
semua jiwa ini sifatnya Eka atau Satu dan identik dengan Yang Maha Esa.
Pengetahuan atau kesadaran semacam ini disebut bersifat sattvik.
No comments:
Post a Comment