For Your Information

Monday, October 1, 2012

Bhagawad Gita (XVIII) Kata Terakhir[3]

21. Pengetahuan yang melihat berbagai-ragam kelainan dalam berbagai makhluk-mahuk, setiap makhluk lain dari yang lainnya, yang beraneka-ragam pengetahuan itu ketahuilah olehmu sebagai rajasik.
Seseorang yang berpengetahuan rajasik memandang setiap makhluk atau benda di dunia ini sebagai terpisah-pisah atau berdiri sendiri-sendiri. Bagi orang semacam ini setiap individu makhluk, atau benda adalah unsur yang berbeda-beda. Pengetahuan rajasik adalah pengetahuan tentang nama dan rupa seseorang belaka, bukan pengetahuan tentang Intisari yang sejati. Ibarat seseorang yang tahu bahwa sesuatu benda disebut tempayan, tetapi tidak tahu bahwa benda tersebut dibuat dan berasal dari apa. Ibarat seseorang mengetahui apa itu lampu, tetapi tidak mengenal unsur cahaya di dalamnya, atau ibarat mengenal yang namanya baju tetapi tidak tahu unsur apa yang menjadi bahan dasar dari baju tersebut.
Bagi seorang yang berpengetahuan rajasik semuanya nampak berbeda-beda dan berlainan derajatnya. Bagi orang semacam ini status seseorang dewa, brahmana atau seekor tikus itu lain, padahal sabda Sang Kreshna semua yang ada di alam semesta ini berintikan satu unsur yang sama, yaitu Yang Maha Esa.
22. Pengetahuan yang tergantung pada suatu unsur atau obyek yang seakan-akan adalah segala-galanya, tanpa mau tahu akan asal-usul unsur tersebut, tanpa mau menyadari yang realitas, dan berpandangan sempit – disebut sebagai pengetahuan yang tamasik.
Pengetahuan yang bersifat tamasik adalah pengetahuan yang palsu dan tak berdasar sama sekali. Orang yang berpengetahuan ini amat sempit pandangannya. la melihat suatu obyek kecil sebagai sesuatu yang amat penting dan lalu bergantung kepada obyek tersebut seakan-akan tidak ada lagi yang lainnya di dunia ini. Misalnya seseorang yang mencintai seorang wanita cantik dan menganggap wanita tersebut sebagai segala-galanya di dunia ini, atau seseorang berpikir bahwa keluarganya adalah di atas segala-galanya di dunia ini, Tuhan lalu dinomorduakan. Hal semacam ini disebut moha (keterikatan) dan keterikatan ini disebut pengetahuan yang bersifat tamasik atau gelap.
Hal yang sama berlaku sekiranya seseorang hanya tergantung pada pesta-pesta pora, makanan atau kenikmatan dan keterikatan duniawi lainnya, yang memberikannya kenikmatan yang bersifat sementara dan merasa itulah arti kehidupan dunia. Pengetahuan semacam ini adalah hampa dan irasional. Pengetahuan tentang Sang Atman adalah pengetahuan yang sejati. Pengetahuan tentang logika duniawi yang berdasarkan perbedaan atau diskriminasi adalah rajasik. Sedangkan pengetahuan yang tanpa dasar, tanpa pengorbanan atau pengertian pada Yang Maha Esa adalah sifat tamasik.
23. Suatu tindakan yang berdasarkan moral, yang lepas dari keterikatan, yang dilakukan tanpa mengharapkan suatu pamrih dan yang dilakukan bukan karena cinta atau benci – tindakan tersebut adalah sattvik (bersih).
Suatu tindakan, aksi atau perbuatan yang bersih atau yang benar dan sejati disebut sattvik, yaitu perbuatan yang berdasarkan nilai-nilai moral, kewajiban dan prikemanusiaan. Pekerjaan seperti bekerja sehari-hari, mencari nafkah secara jujur demi kehidupan keluarga adalah pekerjaan yang bersifat sattvik. Seorang ibu yang mengasuh anak-anaknya dengan baik adalah seorang yang sattvik dan bekerja sattvik. Pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan yang dianjurkan pustaka-pustaka kuno seperti yagna, tapa dan dana adalah perbuatan sattvik. Berbicara jujur, menolong yang harus ditolong, memuja Yang Maha Esa adalah perbuatan sattvik yang harus dilakukan. Dan semua pekerjaan ini harus dilakukan tanpa mengharapkan kembali sesuatu pamrih atau imbalan dalam bentuk apapun juga baik dari siapapun maupun dari Yang Maha Esa atau para dewa-dewa.
Semua pekerjaan ini harus lepas dari rasa ego dan keterikatan, secara total harus dihayati bahwa yang berbuat ini sebenarnya hanya alat dari Yang Maha Esa, tidak lebih dan tidak kurang. Setiap pekerjaan harus dikerjakan lepas dari hawa-nafsu dan dengan tanggung-jawab dan penuh kewajiban terhadap sesama makhluk dan terutama terhadap Yang Maha Esa, karena Ialah sumber atau asal-mula kehidupan ini.
24. Tetapi suatu tindakan yang dilakukan secara penuh dengan ketegangan (stres) oleh seseorang yang ingin memuaskan keinginan-keinginannya, dan yang berdasarkan kepentingan dirinya – disebut bersifat rajasik (mementingkan diri pribadi).
Tindakan atau perbuatan rajasik selalu bercirikan kepentingan pribadi, dan tindakan ini sebenarnya tidak akan menghasilkan suatu keuntungan spiritual, melainkan akan menghasilkan duka atau penderitaan. Tindakan-tindakan rajasik ini memperlihatkan tanda-tanda khas seperti:
a. Tindakan-tindakan ini selalu dilakukan secara bergegas secara menggebu-gebu, dan penuh semangat yang menderu-deru, tetapi diikuti oleh rasa tegang yang luar biasa atau stres berat dan penghamburan energi secara sia-sia.
b. Pekerjaan ini dilakukan karena pengaruh karma (nafsu) atau keinginan-keinginan duniawi untuk mendapatkan kepuasan seksual, harta-benda, kedudukan, kekuasaan, wanita dan lain sebagainya.
c. Tindakan-tindakan ini dilakukan berdasarkan kepentingan atau kepuasan pribadi ego, kesombongan pribadi, dan ini semua disebut ahankara.
25. Tindakan yang dilakukan berdasarkan moha (cinta dan keterikatan duniawi) tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya – yang merugikan dan melukai yang lain – yang tak memikirkan kemampuan pribadinya – disebut sebagai tindakan atau perbuatan yang tamasik.
Ciri-ciri perbuatan atau tindakan tamasik adalah:
a. Dikerjakan karena keterikatan akan hal-hal yang sifatnya duniawi dan gelap.
Orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan ini sudah jauh tenggelam dalam kegelapan duniawi.
b. Dilakukan tanpa memikirkan akibat-akibatnya, yang bukan saja dapat menghancurkan dirinya, tetapi juga orang-orang atau makhluk-makhluk lainnya. Semua ini dilakukan tanpa pikir panjang karena mabuk kekuasaan, karena kenikmatan dunia dan lain sebagainya.
c. Dan perbuatan-perbuatan ini dilakukan tanpa melihat atau sadar akan keterbatasan orang yang melakukan ini, karena jalan pikiran yang sudah gelap dan buntu. Dan kalau ia gagal, ia akan menempuh segala jalan baik yang bersifat kekerasan maupun yang gelap, walaupun itu harus dibayar mahal olehnya.
26. Seseorang yang bertindak lepas dari keterikatan, yang pembicaraannya jauh dari rasa egois yang penuh dengan tekad yang teguh dan antusiasme yang tak tergoyahkan oleh sukses atau kegagalan – orang ini disebut sattvik karta (orang yang benar atau bersih perbuatannya).
Seorang sattvik karta ini benar-benar bertindak sesuai dengan kewajibannya, menerima semua kehendakNya. Dalam menghadapi sukses atau kegagalan ia tenang-tenang saja, dalam menghadapi yang jahat dan suci, yang busuk dan bersih, ia sama saja sikapnya. la maju terus dengan tekad yang amat teguh, yaitu selalu bertindak tanpa pamrih, hanya demi kebenaran dan kewajibannya terhadap Yang Maha Esa semata. Orang semacam ini memiliki beberapa tanda atau ciri khas:
a. la selalu bertindak tanpa pamrih dan keterikatan. la tidak membutuhkan pujian, jasa, sanjungan, keagungan dan kehormatan duniawi untuk apa saja yang dilakukannya.
b. la tidak membual akan apa yang dilakukannya. Tak mau ia berkata bahwa tanpa dia sesuatu hal mustahil terjadi. Setiap patah katanya jauh dari rasa egoisme atau demi kepentingan diri sendiri.
c. la penuh dengan kesabaran dan semangat yang tinggi. Dalam setiap halangan ia penuh dengan tekad, berjuang terus dan tidak patah semangat.
d. la memiliki rasa sama, yaitu selalu bersikap sama baik dalam menghadapi keuntungan maupun kerugian, baik dalam kesenangan maupun penderitaan. Tak tersentuh ia oleh kemenangan dan tak terganggu oleh kekalahan, sama dalam sukses maupun kegagalan.
27. Seseorang yang terombang-ambing oleh kepentingan nafsunya, yang mencari imbalan dari hasil perbuatannya, yang serakah, merugikan yang lainnya, yang tidak bersih (perbuatannya), yang terombang-ambing oleh kesenangan dan penderitaan — orang ini disebut seorang rajasik karta.
Seorang rajasik karta mempunyai beberapa tanda dan sifat-sifat tertentu seperti:
a. Ia tenggelam dalam nafsu duniawi beserta segala kenikmatannya. la terikat pada indra-indranya.
b. la selalu memerlukan imbalan untuk setiap perbuatannya. Setiap tindakannya penuh dengan motivasi tertentu.
c. Ia amat serakah.
d. la bersifat brutal, sifatnya ini selalu merugikan, melukai dan menyakiti orang lain, atau pun makhluk-makhluk lain,
e. Dalam setiap sukses dan kemenangan ia cepat gembira, dalam kegagalan dan kekalahan ia cepat putus asa.
28. Seorang yang tak stabil, kasar, keras-kepala, penuh kepalsuan, beritikad jahat, malas, tak punya harapan, mudah putus-asa, dan selalu menunda-nunda sesuatu — disebut seorang tamasik.
Seorang tamasik nampak aneh atau eksentrik dan tak berbudaya dalam tingkah-lakunya. Hati atau pikirannya tidak tertuju pada tindakan-tindakannya. la juga pandir dan keras kepala. la penuh tipu-daya dan licik atau penuh dengan kepalsuan. la gemar menunda-nunda sesuatu dalam tindakan dan perbuatannya, dan sering membatalkan sesuatu yang akan dikerjakan dengan alasan-alasan tertentu. la mudah putus asa dan orang dengan sifat-sifat ini bekerja atau bertindak dengan motif-motif kejahatan dan berdasarkan pengaruh jahat dan iblis. la bisa saja berwajah meyakinkan dan hidup mewah dan necis, tetapi secara kejiwaan ia tak berbudaya dan memiliki semua karakter tamasik di dalam dirinya.
29. Dengarkanlah olehmu, oh Arjuna, diterangkan secara lengkap dan berulang-ulang, ketiga bagian, yang didasarkan pada ketiga guna (sifat-sifat) dari buddhi (intelektual) dan dhriti (kebulatan tekad).
Ada tiga macam atau jenis buddhi (intelektualitas atau kesadaran manusia). Dan juga ada tiga jenis sifat dari dhriti, yaitu tekad atau suatu keputusan tetap yang diambil seseorang berdasarkan kadar intelektualitasnya, atau kadar kesadaran dan pengertiannya.
Buddhi dan dhriti ini sangat dekat dengan setiap tindakan yang kita ambil. Buddhi menganalisa apa yang harus dilaksanakan seseorang dalam setiap aksi, sedangkan dhriti memutuskan dan menyelesaikan suatu aksi atau tindakan sehingga selesailah atau tuntaslah perbuatan tersebut. Buddhi dengan kata lain adalah suatu kekuatan yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk, yang salah dengan yang benar. Sering sekali kita manusia memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk ditunjukkan jalan yang benar dalam menghadapi rintangan-rintangan di depan kita. Yang memohon ini sebenarnya adalah suatu faktor pengertian atau kesadaran, dan ini disebut buddhi (intelektualitas). Tindakan selanjutnya berdasarkan pengertian tersebut adalah yang didasarkan pada kebulatan tekad atau suatu keputusan yang tuntas, dan ini secara keseluruhan disebut dhriti.
30. Buddhi yang menyadari akan pravritti (tindakan yang benar) dan nivritti (tindakan yang tidak harus dilakukan) – apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan, apa yang harus ditakuti dan apa yang tidak harus ditakuti, perbuatan dan pekerjaan apa yang mengikat dan apa yang membebaskan – pengertian (buddhi) tersebut, oh Arjuna, adalah sattvik (suet dan bersih).
Sloka di atas jelas sekali pengertiannya dan kita manusia seharusnya tahu akan apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita jauhi dan cegah. Siapakah sebenarnya yang harus ditakuti dalam hidup ini dan siapa pula yang harus kita lawan dan hadapi. Lebih dari itu pengertian atau kesadaran yang bersih akan memberikan pengetahuan akan apa yang mengikat secara duniawi dan apa saja yang akan melepaskan kita dari lingkaran penderitaan dan karma kita.

No comments:

Post a Comment