For Your Information

Monday, October 1, 2012

Bhagawad Gita (XVIII) Kata Terakhir[4]

31. Sesuatu yang diketahui secara menyimpang, secara salah – tentang dharma dan adharma (yang betul dan salah), tentang apa yang harus diperbuat dan yang tidak harus dilakukan – pengertian semacam itu, oh Arjuna, bersifat rajasik.
Sesuatu pengertian atau buddhi yang bersifat rajasik yang terpengaruh sifat-sifat raja ini adalah suatu pengertian berdasarkan konsep yang salah atau menyimpang karena berdasarkan semangat egoisme. Pengertian semacam ini selalu mencampur-adukkan yang baik dan yang buruk. Sedangkan pengertian sattvik akan tegas dalam keputusan dan pengertiannya. Buddhi secara rajasik sering melakukan perbuatan salah dan menyimpang karena keputusan yang diambil selalu berdasarkan nilai-nilai yang salah persepsinya. Keputusan semacam ini mencampur-adukkan kewajiban dengan kesenangan, benar dengan salah, dan lain sebagainya dan menganggap semua itu adalah tindakan yang benar. Bagi seorang yang bersifat rajasik, nilai-nilai kebenaran jadi kabur penghayatannya.
32. Buddhi yang terbungkus oleh kegelapan, yang berpikir bahwa adharma (kesalahan) sebagai dharma (benar), dan melihat semuanya secara tidak benar – buddhi (atau pengertian) ini, oh Arjuna, adalah tamasik.
Suatu pengertian yang bersifat tamasik, malahan mengacaukan semuanya, semua nilai-nilai moral bisa saja jadi kacau-balau oleh pola pemikiran semacam ini. Semua ini karena kegelapan yang menyelimuti pengetahuan orang yang bersifat tamasik ini. Yang salah malahan terasa benar baginya. Buddhi ini tidak sadar atau tahu mana yang benar dan mana yang salah. Bagi seorang tamasik, pemujaan kepada Yang Maha Esa itu salah, bersikap anti-Tuhan dan anti-kebenaran malahan benar jadinya. Baginya kebenaran akan hidup dan dunia ini tidak ada hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang semacam ini lebih condong ke arah kekuatan-kekuatan gelap.
33. Suatu tekad atau keputusan (yang diambil seseorang) yang tidak terombang-ambing sifatnya, melalui yoga atau konsentrasi pengendalian aktivitas-aktivitas pikiran, pernafasan dan indra-indranya – tekad tersebut, oh Arjuna, adalah tekad (atau keputusan) yang sattvik sifatnya.
Tekad atau keputusan ini disebut dhriti. Tekad yang bersih dan sattvik karena:
• bersifat tegas dan tidak mudah digoyahkan, alias stabil,
• diperkuat atau didasari oleh latihan-latihan dan konsentrasi yoga,
• mengendalikan secara benar aktivitas-aktivitas pikiran, pernafasan (meditasi) dan indra-indranya. Orang ini lalu mempunyai potensi lahir-batin yang amat kuat, tegas, teguh pendirian dan raganya.
Tekad yang bersifat sattvik ini, mengendalikan pikiran atau jiwa kita ke arah pengetahuan akan tenaga-tenaga yang tersembunyi dan juga potensi-potensi yang tak nampak tetapi sebenarnya banyak terdapat dalam diri kita. Juga akan terbuka potensi dan kekuatan yang ada di alam semesta ini yang dapat dikaruniakan kepada orang yang teguh, yang penuh dedikasi kepadaNya semata. Tekad sattvik kemudian menimbulkan kendali pada pemikiran kita, yang kemudian mengendalikan setiap tindakan kita, sehingga kita pun berubah menjadi sattvik, tanpa pamrih. Hanya bertindak karena harus dan karena kewajiban yang bersifat dedikasi semata.
Tekad yang bersih ini mendisiplinkan pikiran, nafas, dan indra-indra kita, dan diarahkan semua ini ketujuan yang benar. Indra-indra kita akan terkendali secara otomatis secara bertahap. Dan ini bukan ilusi, tetapi kenyataan yang telah dialami oleh mereka-mereka yang telah bersifat sattvik, walaupun dalam abad modern ini.
34. Seseorang yang bertekad kuat pada dharma (kewajiban), pada kama (kenikmatan), dan pada artha (harta) tetapi menginginkan imbalan untuk tekadnya ini – tekad semacam ini, oh Arjuna, adalah rajasik.
Tekad yang bersifat rajasik adalah suatu tekad yang hanya dilakukan untuk suatu imbalan tertentu.
35. Sesuatu tekad yang diambil seseorang, yang berasal dari kebodohan, terlalu banyak tidur, ketakutan, kesusahan, depresi dan kepentingan diri sendiri –tekad tersebut, oh Arjuna, bersifat tamasik (gelap).
Seseorang yang bersifat tamasik sangat keras sifatnya, tetapi kekerasannya bersifat ngawur, karena berdasarkan kemalasan dan kebodohan. Tindakan-tindakannya hanya berdasarkan opini sendiri yang didasarkan pada sifat-sifat pribadinya yang dominan dan serba gelap. la pun selalu dekat dengan rasa takut, depresi, penderitaan dan selalu berada di dalam lingkaran gelap.
36. Dan sekarang dengarlah dariKu, oh Arjuna, tiga bentuk kebahagiaan. Kebahagiaan ini, bagi seseorang yang mempelajarinya (mempraktekkannya), akan menghasilkan kebahagiaan yang mengakhiri penderitaannya.
37. Yang terasa bagaikan racun pada awalnya tetapi serasa air-surgawi pada akhirnya, dan yang terpancar dari pengertian yang murni dari Sang Atman -kebahagiaan tersebut dikatakan bersifat sattvik (bersih).
Kebahagiaan sattvik yang sejati timbul dari kesadaran diri atau dari penampilan/wahyu atau wangsit dari Sang Atman pada diri kita. Tetapi kebahagiaan ini tidak mudah didapat karena harus dipelajari dan dipraktekkan untuk jangka waktu yang lama yang tidak dapat ditentukan oleh seseorang, dan harus diikuti oleh kepasrahan total kepada Yang Maha Esa.
Ada tiga ciri khas sattvik-sukha (kebahagiaan sattvik) ini:
1. Dicapai dengan abhyasa (praktek dan usaha spiritual seperti pemujaan dan meditasi pada Yang Maha Esa secara berkesinambungan).
2. Sangat sukar dan pahit rasanya pada permulaan ini dilakukan, tetapi terasa nikmat dan manis pada akhirnya.
3. Tidak didapatkan dari suatu unsur luar raga kita, tetapi terpancar keluar dari diri sendiri yang sudah bersih dari awan-awan gelap dan kebodohan, terpancar keluar dari lubuk jiwa kita yang paling dalam. Sang Atman, Sang Jati Diri kita Yang Sejati akan memancarkan kenikmatan Ilahi ini secara langsung pada waktunya.
Sattvik-sukha ini bersifat ananda, yaitu bersifat amat menenangkan jiwa, suatu kebijaksanaan atau kesadaran yang amat menentramkan dan membahagiakan jiwa kita.
38. Sesuatu yang terjadi karena kontak-kontak indra dan obyek-obyeknya (vishaya), yang pada mulanya, terasa sebagai air-surgawi, tetapi pada akhirnya terasa sebagai racun – kebahagiaan atau sukha ini dikatakan sebagai rajasik.
Kenikmatan atau kebahagiaan rajasik itu terasa manis seperti amrita (air-surgawi) pada mulanya, karena memang bersifat duniawi dan tercipta akibat hubungan antara obyek-obyek sensual dan indra-indra kita. Tetapi sesudah itu berakibat penderitaan yang amat menyakitkan. Semua kenikmatan duniawi baik itu secara seksual, maupun melalui pesta-pora dan hidup mewah terasa nikmat pada mulanya tetapi selalu terasa pahit pada akhirnya, karena tidak disertai oleh nilai-nilai moral yang sejati, yaitu demi dan untuk Yang Maha Esa semata, tetapi demi kesenangan dan kenikmatan pribadi, dan ini disebut kebahagiaan rajasik, yaitu bersifat sementara saja.
39. Kenikmatan yang pada mulanya dan kemudian selanjutnya menyesatkan sang jiwa, dan yang timbul dari tidur, kemalasan dan kekurangan perhatian –kenikmatan tersebut dikatakan tamasik (gelap).
Kenikmatan tamasik sudah menyesatkan dan menderitakan seseorang dari awal-mula dan selanjutnya pada akhirnya tetap mendatangkan penderitaan. Seseorang yang terbius secara tamasik ini tenggelam dalam kenikmatan yang diakibatkan oleh kebodohan, kekurang-pengetahuan, dan kekacauan jiwa-raganya.
40. Tak ada satu makhluk pun, baik di bumi atau juga di antara para disvarga-loka, yang bebas dari ketiga guna (sifat-sifat Prakriti) ini, yang lahir dari Prakriti (alam).

No comments:

Post a Comment