31. Sesuatu yang diketahui secara menyimpang, secara salah – tentang
dharma dan adharma (yang betul dan salah), tentang apa yang harus
diperbuat dan yang tidak harus dilakukan – pengertian semacam itu, oh
Arjuna, bersifat rajasik.
Sesuatu pengertian atau buddhi yang bersifat rajasik yang terpengaruh
sifat-sifat raja ini adalah suatu pengertian berdasarkan konsep yang
salah atau menyimpang karena berdasarkan semangat egoisme. Pengertian
semacam ini selalu mencampur-adukkan yang baik dan yang buruk. Sedangkan
pengertian sattvik akan tegas dalam keputusan dan pengertiannya. Buddhi
secara rajasik sering melakukan perbuatan salah dan menyimpang karena
keputusan yang diambil selalu berdasarkan nilai-nilai yang salah
persepsinya. Keputusan semacam ini mencampur-adukkan kewajiban dengan
kesenangan, benar dengan salah, dan lain sebagainya dan menganggap semua
itu adalah tindakan yang benar. Bagi seorang yang bersifat rajasik,
nilai-nilai kebenaran jadi kabur penghayatannya.
32. Buddhi yang terbungkus oleh kegelapan, yang berpikir bahwa
adharma (kesalahan) sebagai dharma (benar), dan melihat semuanya secara
tidak benar – buddhi (atau pengertian) ini, oh Arjuna, adalah tamasik.
Suatu pengertian yang bersifat tamasik, malahan mengacaukan semuanya,
semua nilai-nilai moral bisa saja jadi kacau-balau oleh pola pemikiran
semacam ini. Semua ini karena kegelapan yang menyelimuti pengetahuan
orang yang bersifat tamasik ini. Yang salah malahan terasa benar
baginya. Buddhi ini tidak sadar atau tahu mana yang benar dan mana yang
salah. Bagi seorang tamasik, pemujaan kepada Yang Maha Esa itu salah,
bersikap anti-Tuhan dan anti-kebenaran malahan benar jadinya. Baginya
kebenaran akan hidup dan dunia ini tidak ada hubungannya dengan Tuhan
Yang Maha Esa. Orang-orang semacam ini lebih condong ke arah
kekuatan-kekuatan gelap.
33. Suatu tekad atau keputusan (yang diambil seseorang) yang tidak
terombang-ambing sifatnya, melalui yoga atau konsentrasi pengendalian
aktivitas-aktivitas pikiran, pernafasan dan indra-indranya – tekad
tersebut, oh Arjuna, adalah tekad (atau keputusan) yang sattvik
sifatnya.
Tekad atau keputusan ini disebut dhriti. Tekad yang bersih dan sattvik karena:
• bersifat tegas dan tidak mudah digoyahkan, alias stabil,
• diperkuat atau didasari oleh latihan-latihan dan konsentrasi yoga,
• mengendalikan secara benar aktivitas-aktivitas pikiran, pernafasan
(meditasi) dan indra-indranya. Orang ini lalu mempunyai potensi
lahir-batin yang amat kuat, tegas, teguh pendirian dan raganya.
Tekad yang bersifat sattvik ini, mengendalikan pikiran atau jiwa kita
ke arah pengetahuan akan tenaga-tenaga yang tersembunyi dan juga
potensi-potensi yang tak nampak tetapi sebenarnya banyak terdapat dalam
diri kita. Juga akan terbuka potensi dan kekuatan yang ada di alam
semesta ini yang dapat dikaruniakan kepada orang yang teguh, yang penuh
dedikasi kepadaNya semata. Tekad sattvik kemudian menimbulkan kendali
pada pemikiran kita, yang kemudian mengendalikan setiap tindakan kita,
sehingga kita pun berubah menjadi sattvik, tanpa pamrih. Hanya bertindak
karena harus dan karena kewajiban yang bersifat dedikasi semata.
Tekad yang bersih ini mendisiplinkan pikiran, nafas, dan indra-indra
kita, dan diarahkan semua ini ketujuan yang benar. Indra-indra kita akan
terkendali secara otomatis secara bertahap. Dan ini bukan ilusi, tetapi
kenyataan yang telah dialami oleh mereka-mereka yang telah bersifat
sattvik, walaupun dalam abad modern ini.
34. Seseorang yang bertekad kuat pada dharma (kewajiban), pada kama
(kenikmatan), dan pada artha (harta) tetapi menginginkan imbalan untuk
tekadnya ini – tekad semacam ini, oh Arjuna, adalah rajasik.
Tekad yang bersifat rajasik adalah suatu tekad yang hanya dilakukan untuk suatu imbalan tertentu.
35. Sesuatu tekad yang diambil seseorang, yang berasal dari
kebodohan, terlalu banyak tidur, ketakutan, kesusahan, depresi dan
kepentingan diri sendiri –tekad tersebut, oh Arjuna, bersifat tamasik
(gelap).
Seseorang yang bersifat tamasik sangat keras sifatnya, tetapi
kekerasannya bersifat ngawur, karena berdasarkan kemalasan dan
kebodohan. Tindakan-tindakannya hanya berdasarkan opini sendiri yang
didasarkan pada sifat-sifat pribadinya yang dominan dan serba gelap. la
pun selalu dekat dengan rasa takut, depresi, penderitaan dan selalu
berada di dalam lingkaran gelap.
36. Dan sekarang dengarlah dariKu, oh Arjuna, tiga bentuk
kebahagiaan. Kebahagiaan ini, bagi seseorang yang mempelajarinya
(mempraktekkannya), akan menghasilkan kebahagiaan yang mengakhiri
penderitaannya.
37. Yang terasa bagaikan racun pada awalnya tetapi serasa air-surgawi
pada akhirnya, dan yang terpancar dari pengertian yang murni dari Sang
Atman -kebahagiaan tersebut dikatakan bersifat sattvik (bersih).
Kebahagiaan sattvik yang sejati timbul dari kesadaran diri atau dari
penampilan/wahyu atau wangsit dari Sang Atman pada diri kita. Tetapi
kebahagiaan ini tidak mudah didapat karena harus dipelajari dan
dipraktekkan untuk jangka waktu yang lama yang tidak dapat ditentukan
oleh seseorang, dan harus diikuti oleh kepasrahan total kepada Yang Maha
Esa.
Ada tiga ciri khas sattvik-sukha (kebahagiaan sattvik) ini:
1. Dicapai dengan abhyasa (praktek dan usaha spiritual seperti pemujaan
dan meditasi pada Yang Maha Esa secara berkesinambungan).
2. Sangat sukar dan pahit rasanya pada permulaan ini dilakukan, tetapi terasa nikmat dan manis pada akhirnya.
3. Tidak didapatkan dari suatu unsur luar raga kita, tetapi terpancar
keluar dari diri sendiri yang sudah bersih dari awan-awan gelap dan
kebodohan, terpancar keluar dari lubuk jiwa kita yang paling dalam. Sang
Atman, Sang Jati Diri kita Yang Sejati akan memancarkan kenikmatan
Ilahi ini secara langsung pada waktunya.
Sattvik-sukha ini bersifat ananda, yaitu bersifat amat menenangkan
jiwa, suatu kebijaksanaan atau kesadaran yang amat menentramkan dan
membahagiakan jiwa kita.
38. Sesuatu yang terjadi karena kontak-kontak indra dan
obyek-obyeknya (vishaya), yang pada mulanya, terasa sebagai air-surgawi,
tetapi pada akhirnya terasa sebagai racun – kebahagiaan atau sukha ini
dikatakan sebagai rajasik.
Kenikmatan atau kebahagiaan rajasik itu terasa manis seperti amrita
(air-surgawi) pada mulanya, karena memang bersifat duniawi dan tercipta
akibat hubungan antara obyek-obyek sensual dan indra-indra kita. Tetapi
sesudah itu berakibat penderitaan yang amat menyakitkan. Semua
kenikmatan duniawi baik itu secara seksual, maupun melalui pesta-pora
dan hidup mewah terasa nikmat pada mulanya tetapi selalu terasa pahit
pada akhirnya, karena tidak disertai oleh nilai-nilai moral yang sejati,
yaitu demi dan untuk Yang Maha Esa semata, tetapi demi kesenangan dan
kenikmatan pribadi, dan ini disebut kebahagiaan rajasik, yaitu bersifat
sementara saja.
39. Kenikmatan yang pada mulanya dan kemudian selanjutnya menyesatkan
sang jiwa, dan yang timbul dari tidur, kemalasan dan kekurangan
perhatian –kenikmatan tersebut dikatakan tamasik (gelap).
Kenikmatan tamasik sudah menyesatkan dan menderitakan seseorang dari
awal-mula dan selanjutnya pada akhirnya tetap mendatangkan penderitaan.
Seseorang yang terbius secara tamasik ini tenggelam dalam kenikmatan
yang diakibatkan oleh kebodohan, kekurang-pengetahuan, dan kekacauan
jiwa-raganya.
40. Tak ada satu makhluk pun, baik di bumi atau juga di antara para
disvarga-loka, yang bebas dari ketiga guna (sifat-sifat Prakriti) ini,
yang lahir dari Prakriti (alam).
No comments:
Post a Comment